SEJARAH MASUK DAN BERKEMBANGNYA PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA DARI ORBA HINGGA SEKARANG (PENERAPAN ASAZ TUNGGAL PANCASILA DALAM PERSPEKTIF ISLAM)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rezim orde baru merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang menunggalkan sejumlah peristiwa penting. Sejak tahun 1966 Presiden Soeharto mulai menancapkan kekuasaannya dalam pemerintahan Indonesia secara represif dan meninggalkan banyak korban dikalangan masyarakat hingga kejatuhannya pada tahun 1998, salah satu kebijakan pemerintah pada tahun 80-an afdalah pemaksaan ideology pancasila kepada masyarakat melalui beberapa peraturan pemerintah yang menimbulkan pergolakan di tengah – tengah masyarakat dan pada akhirnya menimbulkan korban seperti peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984, konflik majalengka tahun 1993 dan terjadinya perpecahan di tubuh partai politik dan organisasi masyarakat terutama dari kalangan Islam.

Presiden Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun di Republik Indonesia melalui proses yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional pasca peristiwa 1965. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Ali Moertopo, bahwa stabilitas politik dan keamanan nasional merupakan syarat utama bagi berlangsungnya pembangunan

Memasuki era 1980-an Soeharto mengambil satu peluang untuk melansir usahanya terkait dengan asas tunggal. Dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 16 Agustus 1982 dihadapan DPR, Presiden Soeharto mengemnukakan gagasannya untuk menerapkan Pancasila sebagai satu – satunya asas bagi seluruh kekuatan organisasi sosial dan politik di Indonesia

Pada tahun 1985 melalui UU No. 3/1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dan UU Republik Indonesia No. 3 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas UU No. 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya, pemerintah secara hukum menetapkan konsep asas tunggal dalam kehidupan masyarakat. Pada pasal 2 ayat 1 UU No. 3/1985 disebutkan “Partai Politik dan Golongan Karya berdasarkan pancasila sebagai satu – satunya asas” dan pada pasal 2 ayat 1 UU No. 8/ 1985 dijelaskan “organisasi kemasyarakatan berasaskan pancasila sebagai satusatunya asas”. Pemerintah sebagai pemegang instrument kekuasaan, mengenalkan konsep Pancasila sebagai satu – satunya untuk partai politik dan organisasi kemasyarakata, sejak 1986 seluruh organisasi sosial politik digiring hukum untuk menerima Pancasila yang dimaksudkan disini adalah satu asas tunggal dimana semua partai yang berada di Indonesia harus menggunakan Pancasila sebagai dasar ideology mereka dengan ideology Pancasila atau dengan kata lain partai yang menggunakan asas selain Pancasila harus ditiadakan atau tidak diperbolehkan. Kebijakan Orde Baru berupa asas tunggal ini akhirnya menciptakan ketegangan hubungan antar masyarakat di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Setelah wacana penerapoan Pancasila sebagai asas tunggal dipaparkan oleh Soeharto pada pidato kepresidenan dihadapan MPR RI pada tanggal 16 Agustus 1982 begitu banyak menuai protes bahkan setelah dilegalkan melalui Undang – undang No. 3/198 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dan Undang – undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1985 tentang perubahan atas UU No. 3 Tahun 1975 tentang partai politik dan Golongan Karya dampak yang ditimbulkan begitu besar

Dilihat dari peristiwa politik dan kondisi keamanan pada saat itu banyak asumsi yang dikeluarkan tentang alas an pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, termasuk asumsi bahwa kebijakan itu dibuat hanya untuk menjaga kekuasaan Soeharto sebagai presiden. Untuk memudahkan dan memusatkan penelitian sampai pada tujuan maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini menganalisis alas an pemerintah Orde Baru menerapkan konsep Pancasila sebagai asas tunggal dan melihat bentuk perlawanan apa saja yanbg dilakukan oelh masyarakat terhadap penerapan ini.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan ini adalah

1. Untuk mengetahui apa itu asas tunggal

2. Untuk mengetahui alasan pemerintah Orde baru menerapkan konsep pancasila sebagai asas tunggal dan perlawanan apa saja yang dilakukan oleh masyarakat

3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Politik Islam

Adapun manfaat dari pembahasan ini adalah diharapkan memberikan manfaat yang baik untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam kajian Ilmu politik sekaligus diharapkan dapat mengasah kemampuan dan menganalisa dari peneliti terhadap penelitian.

BAB II

LANDASAN TEORI

Pengertian Kebijakan Publik Menurut Para Ahli

ThomasR. Dye
Thomas R. Dye, Mengatakan bahwa pengertian kebijakan publik Merupakan segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda

Carl Frederich
Carl Frederich, Mengatakan bahwa pengertian kebijakan publik Merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada

David Easton
David Easton, Mengatakan bahwa pengertian kebijakan publik merupakan pengaruh dan aktivitas pemerintah.

Ø Formulasi

Kenapa memakai teori kebijakan publik karena perda-perda merupakan sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk membuat masyarakatnya bersifat dan mempunyai moral yang bagus. Dan perda atau peraturan tersebut berlaku bagi semua masyarakat yang tinggal disana.

Ø Implementasi

Penerapan dalam kebijakan ini adalah dengan menerapkannya di masyarakatnya dan lebih spesifik penerapannya ke pendidikan seperti sekolah.

Ø Evaluasi

Sebagaimana kebijakan tersebut telah diterapkan didaerah tersebut dan mendapatkan banyak manfaat seperti menurunnya angka kriminalitas dan penyakit masyarakat.

Pembahasan kerangka teori

Kebijakan public adalah produk politik, sehingga unsur politik ikut mewarnai kebijakan yang di hasilkan, menjadi persoalan jika warna politik itub tidak proporsional. Misalnya didominasi oleh warna dan kepentingan tertentu atau hasil “dagang sapi”, sehingga muncul warna dominasi di pasal tertentu dan warna dominan lain dan pasal yang lain. Sebagai produk politik, kebijakan public memang sarat akan kepentingan politik golongan atau kelompok, namun proporsionalitas kepentingan dan harmoni menjadi sesuatu yang sangat penting diperhatikan untuk menghasilkan kebijakan yang baik. Kebijakan yang baik bukan sebuah kebijakan yang dihasilkan oleh suara mayoritas, bukan pula dengan mayoritas mutlak atau aklamasi karena ia hanya cara untuk mengambil keputusan.

Jika sebuah kebijakan public adalah sebuah produk kompromi politik dalam arti politik dagang sapi, maka sejak dilahirkan kebijakan ini telah membawa cacat bawaan atau menciptakan sejumlah lubang jebakan. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang diambil melalui sebuah sistem yang baik dan proses yang baik pula, dimana kebijakan public dilahirkan dari sebuah sistem sosial politik yangb semakin demokratis dibandingkan sebelumnya akan menghasilkan sebuah kebijakan public

Dari sudut pandang politik, kebijakan public boleh jadi dianggapm sebagai salah satu hasil dari perdebatan panjang yang terjadi di ranah Negara dengan aktor yang mempunyai berbagai macam kepentingan. Dengan demikian, kebijakan public tidak hanya dipelajari sebagai proses pembuatan kebijakan, tetapi juga dinamika yang terjadi ketika kebijakan tersebut dibuat dan diimplementasikan.

BAB III

PEMBAHASAN

2.1 BERBAGAI SIKAP PENOLAKAN TERHADAP ASAS TUNGGAL

Setiap penolakan yang dilakukan untuk menolak asas tunggal dianggap sebagai perlawanan terhadap pancasila. Setiap warga Negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial nyang menolak pancasila sebagai asas tunggal, kontan akan dicap sebagai pengkhianat dan penghasut. Hasilnya konsep asas tunggal sendiri banyak menuai penolakan dari berbagai kalangan. Pada 6 November 198 lima organisasi yang mewakili lima agama yakni Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha mengeluarkan pernyataan bersama untuk tetap mempertahankan asaskeagamaan masing – masing, dan tidak setuju terhadap rencana pemberlakuan asas tunggal. Namun demikian, mereka akan membuat umat menjadi orang yang beragama dan Pancasilais.

Khusus agama Islam, reaksi yang terjadi sangat bervariasi dalam mensikapi gagasan asas tunggal ini. Abdul Asis Thaba melihat hubungan antara Islam dan pemerintah pada masa itu sebagai periode resiprokal kritis, reaksi penolakan konsep asas tunggal oleh kalangan Islam dapat dilihat dari tiga sikap mereka. Pertama, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dianggap bertentangan dengan akidah. Sikap ini diwakili oleh Malik Ahmad, Deliar Noer, KH. Noer Ali, Syafrudin Prawiranegara dan Abdul Qadir Djaelani. Deliar Noer, salah seorang pakar politik dikenal menolak kebijakan pergantian dasar tersebut dangan enam alasan. Dua diantaranya ialah menafikkan hubungan agama dengan politik dan hal yang bertentangan dengan Islam, dan kedua mendorong kearah modernisasi serta mengarah kepada sistem tunggal.

Kedua, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal berarti menyeleng dari pasal 29 UUD 1945. Argument ini diwakili oleh KH. Noer Ali dan syafru

ddin Prawiranegara. Ketiga, konsep asas tunggal bersifat ahistoris dan mengkhianati perjuangan pendiri bangsa Indonesia. Secara umum, reaksi kalangan Islam mengenai pemberlakuan asas tunggal Pancasila ada tiga macam, yaitu

1) Menerima secara total tanpa kritik

2) Menerima karena terpaksa sambil menunggu keluarnya UU keormasan, dan

3) Menolak sama sekali

Golongan pertama adalah PPP, NU, Perti, dan disusul organisasi yang lebih kecil seperti dewan mesjid, golongan kedua antara lain Muhammadiyah dan HMI. Sedangkan ketiga adalah Pelajar Islam Indonesia serta tokoh islam lainnya seperti Deliar Noer, Syafruddin Prawiranegara, Yususf Abdulah Puar, serta para mubaligh yang secara terbuka melalui acara pengajian menyarakan ketidaksetujuannya terhadap asas tunggal.

Sehjumlah operasi intelejen dan militer dilakukan untuk memberangus kalangan yang bersuara kritis. Tragedy berdarah seperti peristiwa kerusuhan lapangfan banteng di tahun 1g82, tanjung priok 1g84, Talang Sari di Lampung 1g8g, Haur Koneng di Majalengka 1gg3 adalah harga pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal dengan umat Islama sebagai tumbalnya.

Sikap reaksioner kelomnpok Islam dalam merespon asas tunggal pancasila paling menyolok tergmbar dalam peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa ini diawali dengan serangkaian pidato dan khotbah yang menyerang berbagai kebijakan kebijakan diskriminatif rezim orde baru terutrama tentang asas tunggal pancasila. Sikap sebagian umnat Islam tersebut ditanggapi dengan penindasan refresif fisik oleh rezim Orde Baru, dan peristiwa berdarah pun terjadi yang menimbulkan korban cukup banyak, yang dikenal dengan peristiwa Tanjung Priok.

Selain itu dibeberapa pijhak untuk menghindari hal tersebut banyak perpecahan yang terjadi dalam tubuh organisasi seperti HMI bahkan organisasi PPI diilegalkan oleh pemerintah dan dalam aktivitasnya bergerak secara diam diam. Dalam tubuh kepengurusan HMI terjadi perpecahan tentang penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi. Dalam siding pleno PB HMI 1983/1985 tanggal 5 April 1985 di Ciloto, Jawa Barat, HMI menerima Pancasila sebagai satu – satunya asas, namun beberapa cabang lainnya tetap menolak Pancasila sebagai asas organisasi sehingga mereka berinisiatif membentuk HMI MPO dan tidak menggunakan Pancasila sebagai asas tunggal.

2.2 SIKAP ORGANISASI MASYARAKAT TERHADAP POLITIK ORDE BARU

Politik yang dijalankan oleh orde baru terhadap Islam jelas sekali membawa pengaruh terhadap perkembangan islam pada saat itu. Dengan adanya politik tersebut, juga membawa beragam sikap yang ditunjukan oleh organisasi masyarakat yang bernafaskan islam. Pada saat itu cukup banyak organisasi islam yang terdapat di dalam masyarakat. Salah satu organisasi masyarakat yang cukup besar pada saat itu adalah Nadhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Sikap yang ditunjukkan oleh ormas ini beragama ada yang menolak dan adapula yang menerima dengan terbuka. Walaupun kita mengetahui bahwa politik yang dijalankan tidak selamanya berpihak terhadap islam. Sebut saja mengenai diberlakukannya asa tunggal pancasila serta adanya UU perkawinan yang dianggap bersikap sekuler yang sudah di jelaskan diatas. Inilah sikap yang ditunjukan oleh ormas pada politik yang dijalankan oleh Soeharto.

A . Nadhatul Ulama (NU)

Nadhatul Ulama atau kebangkitan ulama merupakan organisasi masyarakat yang berdiri pada 31 Januari 1926. Pada awal berdirinya NU memiliki basis penyebaranya bertempat di pesantren-pesantren. Hal ini sesuai dengan prakarsa NU sendiri berasal dari para pemimpin pesantren. Namun seiring berjalannya waktu basis NU mulai bergeser. Hal ini dikarenakan sekitar tahun 1950-an banyak sekali dibuka sekolah formal. Sehingga membuat banyak anak yang beragama islam lebih memilih untuk bersekolah formal dibandingkan pesantren. Inilah yang kemudian membuat K.H Wahid Hasyim yang pada saat itu merupakan Menteri Agama memgajukan konsep masuknya kurikulum pendidikan formal ke dalam pesantren. Hingga mengalami perkembangan sampai sekarang. Sampai sekitar tahun 1952 NU merubah haluannya yang awalnya organisasi masyarakat kini mulai menjadi partai politik. Karena terdapat asumsi umum, bahwa upaya mewujudkan masyarakat yang diridloi Allah hanya bisa melalui perjuangan

Politik Pada saat yang sama tidak hanya NU saja yang menjadi partai politik. Namun hal ini juga terjadi terhadap ormas Islam yang lainnya seperti Masyumi,Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Tharikat Islam. Partai-partai ini kemudian juga mengalami desakan dengan politik Orde Baru pada tahun 1973 yang melakukan penyerderhanaan partai politik. Pada saat itu partai politik yang bernafaskan islam mengabungkan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Ketika terdapat politik penyerderhanaan yang diusung oleh Soeharto. NU ikut menyetujui dan menjalankan politik tersebut, dimana dilihat ketika NU masuk dalam PPP dan merupakan salah satu kekuatan terbesar yang terdapat didalamnnya. Setelah mengalami perkembangan dengan melebur menjadi PPP, kini Soeharto mulai memberlakukan asas tunggal pancasila yang terdapat pada ketetapan MPR RI Nomor

11/1983 dan baru dituangkan di perundang-undangan Nomor 3 dan Nomor 8 Tahun

1985. Sebagai asas baik untuk organisasi masyarakat maupun partai politik. Pada saat terjadi hal ini NU bisa dikatakan bersifat akomodatif terhadap pemerintahan. Disaat ormas dan parpol masih menimbang dan melihat-lihat keputusan tersebut. Malah NU lebih dulu menyatakan kesediannya menerima asas tunggal pancasila dengan di sahkannya pada Mukhtamar NU di Situbondo tahun 1948.Hal ini dilakukan sehingga ulama NU tetap bertahan sebagai kekuatan politik yang besar.

Salah satu stigma yang sering diberikan kepada jam’iyah Nadhatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan ini dinilai memiliki watak sosial politik yang senantiasa berubah-ubah dan tidak konsisten.3 Hal ini dapat dilihat ketika terdapat adanya asas tunggal pancasila NU bersikap lebih akomodatif. Sedangkan ketika Soeharto pada saat itu menerapkan P-4, NU malah bersikap menolak untuk ikut mengesahkan hal tersebut.

`Ketika Nadhatul Ulama memasuki PPP banyak sekali pergeseran yang terjadi di dalamnnya. Pergeseran itu berupa aktivitas kegiatan yang di lakukan oleh NU kini lebih banyak pada kearah politik dan dinilai tidak membawa keuntungan terhadap kehidupan organisasi. Inilah yang membuat NU ingin kembali ke Khittah 1926. Selain itu terdapat pendapat yang dilontarkan oleh seorang ulama senior NU yakni, K.H. Machrus Ali yang menyatakan dalam NU kini mengalami kerusakan batin yang cukup parah. Sebab beberapa tokohnya sebagian besar sudah kerajingan pada hub al- riyasah (cinta kekuasaan) dan hub al-jaah (cinta kedudukan).4 Hal ini dilihat dari sebagian besar pengurus NU pada saat itu juga menjabat di PPP. Mereka lebih banyak melakukan kegiatan politik dan kegiatan organisasi NU dikesampingkan. Mereka terbius oleh dunia glamour yang terdapat di dunia perpolitikan pada saat itu dan NU hanya digunakan sebagai kendaraan politik agar mendapatkan kursi di parlemen.

Kenyataan inilah membuat cemas warga NU pada saat itu. Hingga munculah gagasan untuk kembali ke Khittah 1926. NU menyatakan kembali ke Khittah 1926setelah Mukhtamar di Situbondo pada tahun 1984. Keputusan yang di peroleh dari

Mukhtamar tersebut terdapat 9 bagian, intinya adalah:

1. Mukadimah yang pada pokoknya berisi penjelasan umum tentang latar belakang berdirinya Nadhatul Ulama, kepemimpinan yang ada dalam Nadhatul Ulama, paham dalam Islam yang dijadikan pegangan dan tujuan berdirinnya Nadhatul Ulama.

2. Pengertian dan maksud Khittah Nadhatul Ulama. Ini menyangkut perilaku organisasi dan warga Nadhatul Ulama, dasar-dasar keagamaan serta kemasyarakatan dan dasar dirumuskannya Khittah 1926.

3. Perincian penjelasan dasar keagamaan Nadhatul Ulama yang menyangkut bidang Aqidah, Fiqih (hukum) dan bidang Tasawuf.

4. Penjelasan sikap kemasyarakatan Nadhatul Ulama yang dirumuskan dalam empat bentuk sikap, yang masing-masing adalah:

a. Sikap Tawassuth Wal-I’tidal

b. Sikap Tasamuh

c. Sikap Tawazun

d. Sikap yang selalu Ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

5. Penjelasan tentang perilaku yang muncul sebagai akibat pelaksanaan empat sikap dasar tersebut dalam butir d

6. Perincian penjelasan tentang usaha yang dilakukan oleh Nadhatul Ulama pada awal perjuangannya.

7. Penjelasan tentang fungsi organisasi dan kepemimpinan Ulama yang ada di dalamnya.

8. Penjelasan tentang kedudukan Nadhatul Ulama di tengah-tengah kehidupan bangsa dan Negara. Ini meliputi sikap Nadhatul Ulama dan warganya terhadap Undang-Undang 1945 dan Pancasila, serta sikap Nadhatul Ulama terhadap umat Islam di Indonesia.

9. Tekanan terhadap segenap warga Nadhatul Ulama agar keputusan Mukktamar tentang Khittah ini benar-benar dilaksanakan, baik itu warga biasa maupun pengurus

Dengan adanya keputusan untuk kembali ke Khittah, NU mulai kembali lagi untuk menjadi organisasi masyarakat. Inilah yang kemudian membuat NU mulai memutuskan untuk keluar dari PPP. Ternyata dengan keluarnya NU dari PPP, dirasa oleh PPP kehilangan massa yang cukup besar.

Sejalan dengan proses pemantapan keputusan “kembali ke khittah 1926” hasil-hasilnya pun mulai terasa oleh warga NU, seperti hilangnya beban psikologi warga NU berkat keterbukaan antara NU dengan pemerintah pada semua tingkatan dari atas ke bawah. Inilah yang kemudian membuat warga NU tidak merasa dicurigai ketika melakukan kegiatan keagamaan dan juga sosial oleh aparat keamanan yang pada saat itu ABRI dimiliki keistimewaan untuk mengawasi hal tersebut.

Selain itu malah tidak sedikit pesantren, madrasah dan juga proyek sosial lainnya yang dilakukan oleh NU mendapat perhatian dan juga dana dari pemerintah. Serta mulai tejalinnya kerjasama antara Muslimat NU dengan Departeman Tenaga Kerja. Kerjasama ini dalam kegiatan memberikan pelatihan keterampilan wanita untuk usaha mandiri, baik itu untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Dengan keluarnya NU dari PPP bukan berarti NU melepaskan politik. Maksud dari politik ini sendiri bukan berarti dengan adanya partai politik, namun NU tidak akan lepas dari Birokrasi. Tidak sedikit kegiatan NU yang di bantu oleh Birokrat pada saat itu.

Jadi dari penjelasan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa sikap politik yang digunakan oleh NU dalam perpolitikan Orde Baru lebih banyak bersikap Akomodatif. Hal ini dapat dilihat dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh NU pada masa itu. Namun juga di sebagian NU yang bersikap menolak kebijakan politik saat itu misalnnya saja pemberlakuan P-4. Jika dilihat dari sebagian besarnya NU pada saat itu bisa dikatakan relative lebih tenang.

B. Muhammadiyah

Muhammaddiyah merupakan salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh K.H, Ahmad Dahlan di Yogyakarta. tepat pada 18 November 1912 Masehi atau 8 Dzulhijah 1330 Hijriah perserikatan Muhammadiyah didirikan. Mulai dari berdiri Muhammadiyah masih menunjukan organisasinnya hingga sekarang. Muhammadiyah mengalami pasang surut dan juga melampau beberapa masa kepemimpinan di Indonesia. dari awal berdiri Muhammadiyah harus berurusan dengan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Sampai dengan orde lama hingga orde baru sampai pada Muhammadiyah saat ini.

Pada masa Belanda dan Orde Lama, Muhammadiyah dapat dikatakan mengikuti politik praktis. Berbeda dengan masa Orde Baru, Muhammadiyah pada saat itu tidak ikut dalam salah satu partai politik. Pada masa Belanda, Muhammadiyah semula memang engan untuk ikut dalam politik praktis namun dalam perkembangnya Muhammadiyah ikut membantu Partai Islam Indonesia dan Thawalib tahun 1938. Sedangkan pada masa Orde Lama, Muhammadiyah ikut bergabung dengan organisasi masyarakat lain ke dalam Masyumi. Masyumi sendiri pada masa Jepang sudah dibubarkan, namun dihidupkan kembali. Muhammadiyah sendiri bertahan dengan Masyumi sampai pada tahun 1960 setelah Masyumi dibubarkan.

Pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru) Muhammadiyah tidak mengikuti politik praktis. Memang Muhammadiyah secara organisatoris tidak mengikuti politik praktis. Namun yang tampil dalam politik praktis adalah anggota dan tokohnya yang ikut dalam pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada tahun 1968. Dan semula mendukung Parmusi dan selanjutkan sma sekali meninggalkan partai politik melalui muktamar ke-38 di ujung pandang. Dengan realitas umat islam yang semakin beragam maka sebagai gerakan sosial-keagamaan muhamamadiyyah dihadapkan pada kenyataan bagaiamana mengaktualisasikan gerakannya ditengah masysrakat yang kian pragmatik. sehingga pada saat Soeharto memberlakukan peleburan partai politik, Muhammadiyah tidak merasakan pengaruhnya. Karena pada saat itu secara organisatoris Muhammadiyah tidak terikat pada salah satu partai politik. Selain itu Muhammadiyah juga pada saat itu berbentuk organisasi masyarakat, hal ini berbeda dengan NU yang harus ikut meleburkan diri ke dalam PP

Setelah terjadi peleburan partai politik pada tahun 1973, tepat pada tahun1975 pemerintah mulai mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI berdiri tepat pada tanggal 26 Juli 1975 atau 7 Rajab 1395 H bertempat di Jakarta. Sebagai awal mula dalam pendiriannya mulai diadakan musyawaroh oleh para ulama. Mereka adalah dua puluh enam ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia, 10 ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat (NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan Al- Ittihadiyyah), 4 ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL, dan Polri, serta 13 orang tokoh/cendikiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dengan hadirnya Muhammadiyah sebagai perwakilan para ulama, maka Muhammadiyah dikatakan menerima hadirnya keputusan pemerintah mendirikan MUI.

Politik Orde Baru tidak pada itu saja, namun Soeharto mulai mengeluarkan ketetapan MPR RI Nomor 11/1983 yang menyatakan pemberlakuan asas tunggal pancasila. Asas tunggal pancasila ini diberlakukan tidak hanya partai politik namun juga organisasi masyarakat. Dalam rangka menyikapi perkembangan isu asas tunggal, pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelengarahkan Sidang Tanwir, Mei 1983, yang menghasilkan beberapa keputusan:

1. Muhammadiyah setuju memasukkan Pancasila dalam anggaran dasarnya, dengan tidak mengubah asas Islam.

2. Mengingat bahwa masalah tersebut adalah masalah nasional, pimpinan wilayah, pimpinan daerah, dan lain-lain tidak dibenarkan untuk mengeluarkan atau mengambil sikap tentang masalah itu.

3. Pembahasan tentang masalah tersebut akan dilakukan dalam Muktamar Ke-41

Muhammadiyah.

Belum sampai pada keputusan menerima ataupun tidak karena masih menungu Muktamar ke-41 Muhammadiyah. Dalam mengambil keputusan tentang asas tunggal pancasila, Muhammadiyah mengalami perdebatan didalamnya terdapat dua kubu yang menolak dan ada yang menerima. Sehingga pada kasus ini, Muhammadiyah mengambil rumusan yang jenial sekali, yaitu “asas Pancasila, akidah Islam” Rumusan ini merupakan kompromi antara kepentingan pemerintah yang mengharuskan asas Pancasila ditetapkan dengan kepentingan umat yang menghendaki akidah Islam ditegaskan. Akhirnya Pancasila digunakan sebagai politik helm. Maksudnya pancasila diterima sebagai helm agar Muhammadiyah bisa berdakwa dengan aman terhadap pemerintah orba. Sehingga ketetapan itu baru dituangkan di perundang-undangan Nomor 3 dan Nomor 8 Tahun 1985 dan semua ormas dan parpol mulai menerapkan asas tunggal Pancasila.

Sikap yang digunakan oleh Muhammadiyah terhadap politik Orde Baru sama dengan ormas lain. Pada awalnya melakukan penataan badan-badan organisasinya seperti Majelis Ekonomi, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan, Majelis Pendidikan dan Kebudayaan, Majelis Wakaf dan Kehartabendaan, Majelis Tarjih dan Majelis Tabligh. Muhammadiyah beranggapan bahwa, ketika aspirasi umat tidak lagi relevan disalurkan melalui partai politik serta lembaga perwalian. Maka yang paling mendesak untuk saat ini adalah melakukan penataan badan-badan organisasi yang sudah di sebutkan diatas.

Selain itu Muhammadiyah kini juga lebih bersikap agregatif dan artikulatif terhadap pemerintah. Muhammadiyah bersikap agregatif karena ormas lebih mengetahui secara langsung permasalahan yang terjadi pada kehidupan rakyat. sedangkan bersikap artikulatif, karena Muhammadiyah tidak memperjuangkan aspirasi umat melewati parpol maupun perwalian, melainkan melewati birokrat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya kerjasama antara pemerintah orba dengan Muhammadiyah dalam melakukan kegiatan ormasnya yakni: dalam program pendidikan Muhammadiyah bekerja sama langsung dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Agama.hal ini dilakukan agar lulusan Muhammadiyah pad saat itu dapat diakui oleh pemerintah dan tidak dipersulit dalam mencari kerja.

Untuk masalah kesehatan bekerjasama dengan Departemen Kesehatan, untuk tenaga kerja juga berkejasama dengan Departemen Tenaga Kerja, serta instasi lain yang sekiranya terkait kegiatan tersebut. Sebenarnya ketika hal itu dapat memberikan keuntungan yang baik untuk Muhammadiyah akan dijalankan. Namun hal itu menghilangkan sifat dasar Muhammadiyah yang awalnya memiliki sifat dasar kemandirian yang dulunya dimiliki Muhammadiyah. Tidak hanya itu secara tidak langsung Muhammadiyah banyak berfungsi sebagai alat kepentingan pemerintah. Sebenarnya memang kepentingan umat diperhatikan namun selama tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintahan

Jadi bisa dikatakan hampir sama dengan yang dilakukan oleh NU, Muhammadiyah juga bisa dikatakan bersikap Akomodatif terhadap pemerintahan Orde Baru. Dilihat dengan program yang dijalankan serta keputusan-keputusan yang diambil ketika menyikapi politik orde baru. Dapat pula dikatakan ketika hal itu bisa menguntungkan terhadap Muhammadiyah, maka hal itu akan diambil.

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam perkembangannya ternyata asaz tunggal hanya dijadikan alat politik bagi kelanggangen kekuasaan orde baru. Asaz tunggal di pandang hanya sebatas hanya bersifat politis ketimbang permasalahan kepentingan Negara Indonesia. Asaz tunggal di jadikan sebagai alat untuk mempertahan kekuasaan Soeharto di karenakan tidak bolehnya ada asaz lain selain Pancasila dan dapat menekan kekuatan lawan serta memecahkan kekuatan-kekuatan yang besar di setiap organisasi maupun partai politik. Hal ini dapat di simpulkan bahwa asaz tunggal bukan merupakan sesuatu hal yang sangat vital atau permasalahan kedaulatan negara dikarenakan banyak usul politis didalamnya. Berbagai kebijakan di ciptakan untuk mempertahankan setiap kekuasaan sang penguasa dan berbagai alasan pun akan di ucapan oleh penguasa karena untuk mempertahankan kekuasaan bisa menggunakan segala cara mau itu dengan sesuatu yang baik ataupun tidak baik bagi setiap masyarakat.

Komentar

Postingan Populer