Hutang Luar Negeri Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang perekonomiannya masih bersifat terbuka,artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Oleh karena itu perlu adanya fondasi kokoh yang dapat membentengi suatu negara agar tidak sepenuhnya dapat terpengaruh dari dunia luar, Seperti apa yang terjadi ketika negara Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal ( external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Tetapi ternyata guncangan keuangan yang sangat hebat dari negara Thailand ini berimbas kepada perekonomian Indonesia, kekacauan dalam perekonomian ini menjadi awal dan salah satu faktor penyebab runtuhnya perekonomian Indonesia termasuk terjebaknya Indonesia ke dalam dilema utang luar negeri.
Salah satu beban ekonomi Indonesia adalah hutang luar negeri yang terus membengkak, hutang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya, Indonesia sendiri tidak terlepas dari masalah hutang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, hutang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan di Indonesia. Bahkan hutang luar negeri telah menjadi sumber utama untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Meskipun hutang luar negeri (foreign debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga menjadi beban yang terus menerus harus dilaksanakan, apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.
Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk pembangunaan ekonomi sangat besar.
Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi modal domestik adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMAP); portofolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan (eksper/impor)/ modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta.
Pada satu sisi, datangnya modal dari luar negeri tersebut dapat digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional pemerintah, sehingga target pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Tetapi pada sisi lain, diterimanya modal asing tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah dalam jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan pada beberapa negara-negara yang sedang berkembang menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan, yang justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Motivasi Timbulnya Hutang Luar Negeri
1. Motivasi Negara Pemberi Bantuan
Negara-negara donor memberikan bantuannya pertama-tama karena hal
tersebut memang utuk kepentingan politik, strategis dan/atau ekonomi
mereka. Secara garis besar terdapat dua motivasi yaitu:
a. Motivasi Politik
Motivasi politik merupakan motivasi yang paling penting bagi Negara-negara pemberi hutang.Kebanyakan pemberian hutang bagi Negara-negara berkembang lebih diarahkan untuk mempertahankan rezim-rezim pemerintahan yang kadang goyah, daripada untuk mendorong kemajuan ekonomi dan social dalam jangka panjang.
b. Motivasi Ekonomi
Dalam konteks Negara maju, program bantuan luar negeri memiliki
rasional ekonomis yang kuat.Dalam kenyataannya, walaupun ada motivasi
politik namun landasan bersifat ekonomi merupakan “Lip-service” untuk
memberikan bantuan.Argumentasi ekonomi yang mengatasnamakan hutang
sebagai obat yang sifatnya penting untuk pembangunan Negara-negara
berkembang harus tidak menutupi kenyataan bahwa keuntungan akan
mengalir pada Negara-negara pemberi bantuan. Negara-negara penerima
bantuan akan kesulitan mengembalikan hutang-hutangnya yang besar. Di
samping itu, juga akan menaikkan ongkos impor, seringkali sebesar
20-40% .Biaya impor ekstra meningkat karena adanya pinjaman yang
dikaitkan dengan ekspor.
2. Motivasi Negara Penenerima Bantuan
Mengapa Negara berkembang berkeinginan untuk menerima pinjaman, bahkan dalam bentuk kurang lunak sekalipun. Ada setidaknya tiga alasan, mengapa Negara berkembang mencari bantuan luar negeri yaitu:
- Alasan ekonomis yang bersifat praktis. Karena Negara berkembang cenderung mempercayai pendapat ahli ekonomi Negara maju. Yaitu bahwa bantuan luar negeri merupakan obat pendorong dan stimulant bagi proses pembangunan, serta mampu memicu pertumbuhan ekonomi yang mandiri.
- Alasan kedua menyangkut masalah politik. Di beberapa Negara, pinjaman luar negeri dianggap memberikan kekuatan politik yang lebih besar kepada pemimpin yang sedang berkuasa untuk menekan oposisi dan mempertahankan kekuasaannya. Dalam hal ini, bantuan tidak hanya meliputi transfer sumber keuangan, akan tetapi juga dalam bentuk bantuan militer dan pertahanan dalam negeri.
- Motivasi yang dilandasi oleh moral, yaitu berlatar belakang pada rasa tanggung jawab kemanusiaan Negara maju terhadap Negara berkembang. Dan bantuan luar negeri dianggap sebagai kewajiban social bagi Negara-negara maju untuk pembangunan Negara-negara berkembang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas,maka secara umum rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
- Apakah yang dimaksud dengan Hutang Luar Negeri ?
- Bagaimana bentuk – bentuk Pinjaman Luar Negeri ?
- Bagaimanakah sejarah Hutang Luar Negeri Indonesia ?
- Apa yang menjadi Faktor Penyebab Hutang Luar Negeri ?
- Bagaimankah Data Posisi Hutang luar negeri Indonesia ?
- Bagaimanakah Dampak Hutang Luar Negeri ?
- Apakah solusi Hutang Luar Negeri ?
C. Tujuan
Tujuan dalam pembahasan makalah ini, yang berjudul “Makalah Hutang Luar Negeri Indonesia” berdasarkan rumusan masalah di atas antara lain:
- Untuk mengetahui pengertian Hutang Luar Negeri
- Untuk mengetahui bentuk – bentuk Pinjaman Luar Negeri
- Untuk mengetahui sejarah Hutang Luar Negeri Indonesia
- Untuk mengetahui Faktor Penyebab Hutang Luar Negeri
- Untuk mengetahui Data Posisi Hutang luar negeri Indonesia
- Untuk mengetahui Dampak Hutang Luar Negeri
- Untuk mengetahui solusi Hutang Luar Negeri
D. Manfaat
Selain tujuan daripada penulisan makalah, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini :
- Untuk menambah wawasan Penulis dalam perekonomian Indonesia khususnya yang berhubungan dengan utang luar negeri
- Sebagai referensi bagi peneliti lain yang sedang meneliti topik yang berkaitan dengan penelitian ini.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ketergantungan Terhadap Hutang Luar Negeri
Keterbelakangan yang dialami oleh negara-negara berkembang yang telah secara intensif mendapat bantuan dari negara-negara maju menyebabkan ketidak-puasan terhadap asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh teori modernisasi. Keadaan ini menimbulkan reaksi keras dari para pemerhati masalah-masalah sosial yang kemudian mendorong timbulnya teori dependensi. Teori ini menyatakan bahwa karena sentuhan modernisasi itulah negara-negara dunia ketiga kemudian mengalami kemunduran (keterbelakangan), secara ekstrim dikatakan bahwa kemajuan atau kemakmuran dari negara-negara maju pada kenyataannya menyebabkan keterbelakangan dari negara-negara lainnya (‘the development of underdevelopment’); siapa sebenarnya yang menolong dan siapa yang ditolong ?. Andre Gunter Frank (1967) dianggap sebagai salah seorang tokoh pencetus teori Dependensi ini mengatakan bahwa keterbelakangan justru merupakan hasil dari kontak yang diadakan oleh negara-negara berkembang dengan negara-negara maju (Budiman, dalam : Frank, 1984: xii-xiii).Asumsi dasar dari teori Dependensi mencakup:
- Keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia Ketiga;
- Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh ‘faktor luar’;
- Permasalah ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi dari negara dunia Ketiga ke negara maju;
- Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global;
- Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan(Suwarsono-So, 1991: 111).
Teori Dependensi ini bukannya tanpa kekurangan, bahkan kritik yang dilomtarkan mungkin lebih banyak dari sanggahan terhadap teori Modernisasi (Suwarsono-So, 1991: 137). Salah satu persoalan yang luput dari perhatian teori Dependensi adalah kurangnya pembahasan tentang kolonialisme yang pernah tumbuh subur dikebanyakan negara-negara berkembang. Menurut perspeksif Dependensi, pemerintahan kolonial didirikan dengan tujuan menjaga stabilitas pemerintahan jajahan, dan pemerintahan ini tidak akan pernah dibentuk dengan tujuan untuk membangun negara pinggiran (Suwarsono-So, 1991: 121).
Secara teoritis, ekonomi makro klasik mengenal konsep Ricardian Equivalence (RE). Premis dasarnya, utang pemerintah bersifat netral, tidak mempunyai efek terhadap suku bunga, investasi, perdagangan, inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Konsekwensinya tidak terdapat efek redistribusi pendapatan. Ini memunculkan pemeo “ there is no burden of the national debt”.
Dalam konteks hutang luar negeri, teori ini berpandangan, kalau pembangunan tidak dibiayai dengan hutang luar negeri, maka sumber dana yang diambil dari dalam negeri. Artinya masyarakat harus membayar pajak yang lebih tinggi, sehingga pendapatan disposable merosot. Akibatnya, konsumsi domestik berkurang maka pertumbuhan pun terhambat. Secara teori argument tersebut di atas dibantah oleh analisis “there is a burden of the national debt” Maksudnya, hutang pemerintah mencerminkan pengeluaran yang dibiayai defisit anggaran, sehingga konsumsi domestik naik berlebihan, yang akan mendorong suku bunga dan inflasi jangka panjang naik. Karena penerapan good governance tidak berjalan, sementara para kreditor terutama Bank Dunia, gagal menerapkan prinsip prudensial, tingkat kebocoran pun tinggi.
Pinjaman luar negeri akan menimbulkan masalah jika dana tersebut tidak diinvestasikan secara produktif untuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi pembayaran bunga. Krisis utang dunia yang terjadi pada dekade 80-an menjadi bukti bahayanya pembiayaan melalui hutang luar negeri di mana banyak negara terpaksa menunda kewajiban membayar hutang (Weiss, 1995).
Pengaruh eksternal bukan satu-satunya penyebab krisis, kebijaksanaan pemerintah yang tidak terarah juga bisa dianggap mempunyai pengaruh terhadap krisis ekonomi (Gillis et.al, 1996). Gairah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang banyak mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah, sehingga menimbulkan defisit anggaran yang semakin membesar. Dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, investor swasta menanamkan dananya pada usaha-usaha non-produktif, seperti tanah, atau menginventasikannya di luar negeri yang menimbulkan defisit eksternal.
Sejak tahun 1960-an hingga sekarang, studi-studi empiris mengenai pengaruh utang luar negeri dan berbagai tipe modal asing lainnya terhadap pertumbulian ekonomi dan atau tabungan di suatu negara terus berlangsung (Rana, 1987 ; Rachbini, 1995 : ix). Di satu sisi, dari tahun ke tahun studi-studi tersebut terus mengalami perkembangan, baik dalam permodelan maupun metodologi penelitian. Di sisi lain, penelitian-penelitian yang ada ternyata menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai.
Undang-undang Penanaman Modal Asing 1967 menyebutkan bahwa Modal asing diberi keluasaan untuk masuk di negeri Indonesia. Kemudian banjir investasi masuk ke dalam negeri untuk melakukan pemanfaatan Sumber Daya Alam sehingga menghasilkan keuntungan besar bagi investor. Pemerintah yang di pimpin oleh Presiden Soeharto ( Orde Baru) tidak ingin membangun ekonomi dan negara hanya dengan kemampuan sendiri. Ekonomi Kerakyatan yang di gembar-gemborkan Bung Hatta belum memberikan hasil yang signifikan. Padahal pemerintah pada waktu itu mengalami resesi ekonomi yang sangat besar hingga 200%. Maka Soeharto dengan membuat UU PMA tersebut bermaksud membayar utang dan membangun negara dengan bantuan luar negeri.
Gelombang Modal besar-besaran telah masuk ke Indonesia pasca UU PMA di sahkan oleh negara. Berangsur-angsur pemerintah mampu mengurangi resesi ekonomi tersebut hingga akhirnya pemerintah membangun pemerintahan Indonesia dengan modal asing. 4 Repelita ( 1969-1989) yang dihasilkan memberikan nada “puas” dan “optimistik” dari kalangan pengamat dan teknorat pada waktu itu. Hingga ada yang berkomentar Pembangunan ekonomi Indonesia tinggal landas saja pada Repelita VI ( 1994-1999) tapi realitas yang ada tahapan tinggal landas persyaratan belum sepenuhnya terpenuhi yakni ketergantungan padahutang-hutang Luar negeri hingga terjadinya krismon 1997-1998 menyebabkan Indonesia kelabakan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hutang Luar Negeri
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pinjaman berarti utang yang dipinjam dari pihak lain dengan kewajiban membayar kembali. Sedangkan Pinjaman Luar Negeri adalah sejumlah dana yang diperoleh dari negara lain (bilateral) atau (multilateral) yang tercermin dalam neraca pembayaran untuk kegiatan investasi, menurut saving-investment gap dan foreign exchange gap yang di lakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Menurut SKB No.185/KMK.03/1995 dan Nomer KEP.031/KET/5/1995 antata Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas : Pinjaman Luar Negeri adalah penerimaan negara baik dalam bentuk devis atau devisa yang di rupakan maupun dalam bentuk barang dan jasa yang diperoleh dari peneriman pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
Hutang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total hutang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima hutang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk hutang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional sepertiIMF dan Bank Dunia.
B. Bentuk – Bentuk Pinjaman Luar Negeri
Bentuk pijaman luar negeri dapat dilihat dari dua aspek, antara lain :
- Sumber Dananya Bila dilihat dari suber dananya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi:
- Pinjaman Multilateral yaitu pinjaman yang berasaal dari badan-badan internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB).
- Pinjaman Bilateral yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara baik yang tergabung dalam CGI maupun antar negara secara langsung (intergovernment).
- Pinjaman Sindikasi yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) internasional. Pemberian pinjaman tersebut dikoordinir oleh satu bank/LKBB yang bertindak sebagai sindication leader. Pinjaman ini biasanya dalam jumlah besar dan bersifat komersial (commercial loan), misalnya dengan tingkat suku bunga yang mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam loan agreement merupakan konsensus dan kesepakatan diantara para pemberi pinjaman.
- Segi persyaratannya, bila dilihat dari segi persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi :
-
Pinjaman Lunak (Concessional Loan) yaitu pinjaman luar negeri
Pemerintah dalam rangka pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Pinjaman
lunak biasanya diperoleh dari negara-negara yang tergabung dalam
kerangka CGI maupun non CGI. Pengertian dengan dana sendiri atau dana
pendampingan oleh Pemerintah RI. Fasilitas Kredit Ekspor dapat dalam
bentuk Suppliers Credit atau Buyers Credit. Buyers Credit adalah
pinjaman FKE yang diterima dari bank komersial atau lembaga keuangan
bukan bank luar negeri, dimana tujuan pinjaman tersebut adalah untuk
pembelian barang dari negara pemberi pinjaman.
Suppliers Credit adalah adalah pinjaman FKE yang diterima Pemerintah langsung dari pemasok barang (supplier) di luar negeri kepada Pemerintah RI yang akan diberikan dalam bentuk barang untuk keperluan proyek. Dapat diartikan bahwa dalam suppliers credit ini, pihak yang menerima pinjaman adalah pihak pemasok barang.
- Purchase Installment Sale Agreement (PISA) yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual beli dengan pembayaran angsuran. Besarnya pinjaman PISA adalah 100% dari nilai proyek.
- Pinjaman Komersial (Commercial Loan) yaitu pinjaman yang diterima dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar modal internasional. Pinjaman ini lazim pula disebut cash loan karena pinjaman diterima dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau tidak mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah besar karena pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya terdiri atas perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Beberapa pertimbangan bagi Pemerintah dalam menerima pinjaman komersial adalah:
- Mendukung penganekaregaman (diversifikasi) pinjaman atau memperluas
- sumber pinjaman yaitu memperoleh pinjaman dari perbankan dan lembaga keuangan bukan bank.
- Jumlah pinjaman relatif lebih besar dan tatacara penarikannya lebih mudah. Penggunaan dana tidak terikat pada satu proyek tertentu namun lebih
- flesibel, baik untuk diinvestasikan kembali, untuk membiayai proyek atau untuk memperkuat cadangan devisa.
C. Sejarah Hutang Luar Negeri Indonesia
- Hutang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh hutang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala hutang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif utang piutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya.
Tradisi pengalihan hutang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan hutang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan warisan hutang sebesar USD 60 miliar. Bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan hutang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, hutang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika dikonversikan), sehingga hutang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD 135 miliar.
Tentu tidak adil jika hanya melihat angka hutang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi hutang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto.
- Hutang Pemerintah Orde Lama
Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan hutang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar Amerika. Hutang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak dinyatakan di hapuskan. Hutang ini nantinya diwariskan kepada era-era pe merintahan berikutnya, dan akhirnya dilunasi juga.
Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta terhadap hutang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa hutang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya sebagian besar kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan negara dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negara-negara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan lambat laun di hentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan modal asing masuk ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan pinjaman luar negeri.
Di sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada terhadap kemungkinan penggunaan hutang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda. Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga ter hadap masalah penanaman modal asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak di wilayah Indonesia.
Sebagai contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan mengemukakan antara lain: negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan jangka waktu hutang yang lama. Jadi, selain melihat hutang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Terkenal pula pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS karna berusaha mengaitkan hutang dengan tekanan politik. Bagaimanapun, transaksi hutang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. Sampai dengan tahun 1950, hutang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain hutang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah hutang pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan hutang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi.
Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar USD17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun kemudian bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika Malaysia pemerintah Inggris menyatakan Malaysia di nyatakan sebagai bagian federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya juga berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di Indonesia. Yang jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika, turut memburuk. Berbagai kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh Soekarno, dan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan PBB.
Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan hutang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan sebagian hutang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang bersahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat hutang luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk hutang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno.
- Hutang Pemerintah Era Soeharto
Sejak awal, sikap pemerintahan Soeharto terhadap modal asing berbeda dengan sikap Soekarno-Hatta. Sebagai contoh, undang undang pertama yang ditandatangani Soeharto adalah UU no.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang isinya bersifat terbuka dan bersahabat bagi masuknya modal dari negara manapun. Beberapa bulan sebelumnya, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, yang rekomendasinya segera diikuti oleh pemerintah. Indonesia juga telah secara resmi kembali menjadi anggota IMF.
Seiring dengan itu, perundingan serius mengenai hutang luar negeri Indonesia berlangsung lancar. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, seketika diimbali oleh negara-negara barat berupa: pemberian hibah, restrukturisasi hutang lama, komitmen hutang baru dan pencairan hutang baru yang cepat. Hibah sebesar USD 174 juta dikatakan bertujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi. Restrukturisasi utang yang disetuji bernilai sekitar USD 534 juta. Lewat berbagai perundingan, terutama pertemuan Paris Club, disepakati moratorium hutang sampai dengan tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok sebagian besar hutang. Akhirnya, sejak tahun 1967 Indonesia mendapat persetujuan hutang baru dari banyak kreditur, dan sebagiannya langsung dicairkan pada tahun itu juga.
ULN dengan Persyaratan Lunak
Pada mulanya, semua utang baru itu bisa dikatakan sebagai pinjaman dengan syarat lunak. Ada jenis pinjaman yang biasa disebut bantuan program, yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan. Bantuan program ini berbentuk devisa tunai atau hak untuk memperoleh sejumlah komoditi yang ditentukan. Ada bantuan proyek, yang pada dasarnya adalah hutang bagi pembagunan proyek tertentu dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak. Bahkan, ada dana berbentuk sumbangan (grant) atau hibah yang berfungsi sebagai ”dana pendamping” dari hutangnya.
Para kreditur yang memberi hutang kepada Indonesia awalnya hanya terdiri dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan iternasional. Para kreditur tersebut mengkoordinasikan diri ke dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Beberapa tahun kemudian, kreditur swasta turut terlibat. Sebagian kreditur swasta yang besar kadang diundang dalam forum-forum IGGI.
IGGI didirikan pada tahun 1967 di Den Haag, yang anggotanya terdiri dari: Australia, Amerika Serikat, Belgia, Belanda, Italia, Jerman, Jepang, Inggris, Perancis, dan Kanada. Ada negara-negara yang hadir sebagai peninjau, seperti: Austria, Denmark, Norwegia, Selandia Baru, dan Swiss. Sedangkan lembaga-lembaga keuangan multilateral yang menjadi anggota forum adalah: IMF, IBRD, ADB, UNDP, dengan OECD sebagai peninjau. Pada tanggal 25 Maret 1992, dipicu oleh suatu insiden politik, IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda tidak diakui lagi oleh Indonesia. Namun, fungsi IGGI tetap berlangsung melalui wadah baru bernama Consultative Group for Indonesia (CGI), dengan pimpinan Bank Dunia. Selama perkembangannya, ada beberapa lembaga internasional, termasuk bentukan Bank Dunia, yang kemudian bergabung, seperti IDA, IFAD (International Fund for Agricultural Development) dan IFC ( International Finance Corporation). Terjadi pula beberapa pergeseran besaran kontribusi masing-masing negara.
Resminya, IGGI/CGI hanyalah suatu forum pembicaraan me ngenai ULN pemerintah Indonesia. Namun, pada praktiknya IGGI/CGI menyerupai konsorsium. Sebagian besar ULN pemerintah pada era pemerintahan Soeharto dibicarakan dan disepakati dalam forum IGGI/CGI. Setiap tahun, forum ini memutuskan jumlah dan macam pinjaman yang akan diberikan, setelah mempertimbangkan “usulan” dari pemerintah Indonesia. Dalam artian tertentu, IGGI/CGI memang bukan konsorsium, karena masing-masing kreditur memiliki kesepakatan tersendiri tentang detilnya, dan tidak seluruh hasil forum bersifat mengikat kepada mereka.
Pada saat pemerintahan Soeharto mulai menerima ULN dan satu dekade setelahnya, perkembangan wacana keuangan internasional memang sedang kondusif. Selain yang dinyatakan sebagai dimensi kemanusiaan atau charity, serta keterkaitan dengan masalah perebutan pengaruh politik Blok Barat dan Blok Komunis, konsep dan praktik keuangan internasional memang tengah marak me ngembangkan berbagai bentuk ULN. Ada dua pemicu utama dari sisi wacana keuangan dan perekonomian. Pertama, upaya banyak negara maju untuk merestukturisasi sekaligus mengembangkan industri pengolahannya, yang berlangsung mulai era 1960-an. Ada pertimbangan suplai sumber energi, bahan baku, pemindahan sebagian tahap produksi, sampai kepada penetrasi pasar.
Kedua , mulai ada kelebihan likuiditas pada lembaga keuangan internasional, yang kemudian mendapat momentum lanjutan dari petro dollar akibat kenaikan harga minyak sejak awal 70-an. Selain disimpan pada bank dan lembaga keuangan komersial, dana petro dollar dari negara-negara produsen minyak ini juga bisa diakses oleh IMF.
Perkembangan wacana dan kondisi keuangan internasional itu kemudian antara lain menghasilkan ULN yang diterima pemerintah negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk Indonesia. Secara umum, jenisnya terdiri dari: dana pembangunan resmi (official development fund/ODF), kredit ekspor ( export credit) dan pinjaman swasta (private flows). ODF adalah pinjaman resmi bersyarat lunak dari suatu negara donor melalui lembaga keuangan bilateral negara yang bersangkutan dan atau melalui lembaga dan bank pembangunan multilateral seperti: Bank Dunia, ADB, IDA, dan sebagainya. ODF dapat berupa pinjaman bersyarat sangat lunak (Official development assistance/ODA) atau pinjaman setengah lunak (less concessional loan/LCL).
Kredit ekspor adalah pinjaman setengah resmi dengan persyaratan setengah lunak yang dananya berasal dari negara donor (disebut official financial support) atau yang bersumber dari pihak perbankan dan lembaga keuangan swasta yang dijamin dan disubsidi oleh pemerintah negara donor. Penggunaan kredit ekspor itu kadang-kadang terbatas hanya untuk pengadaan barang dan jasa di negara donor ( tied), dan kadang tidak mengikat, atau kombinasi antara keduanya. Kredit ekspor disebut “suppliers credit” kalau pinjaman itu disalurkan melalui pemasok di negara donor. Pinjaman ini dinamakan “buyers credit” jika diberikan langsung oleh lembaga kredit ekspor kepada peminjam di negara penerima.
Secara teknis, dikenal pembedaan jenis ULN dengan sebutan Pinjaman program dan Pinjaman proyek dalam pencatatan APBN saat ini. Pada masa sebelumnya, ULN dicatat dalam APBN setiap tahunnya sebagai bantuan program dan bantuan proyek. Pada tahun tahun tertentu, ada yang dicatat sebagai pinjaman setengah lunak/komersial dan pinjaman tunai. Jenis yang masuk kategori dalam pinjaman swasta ini hanya pada periode tertentu memiliki arus masuk yang besar.
Sebenarnya, pembedaan antara pinjaman program dan pinjaman proyek bersifat sumir atau tidak cukup tegas. Pada dasarnya, kedua jenis itu terdiri dari ODA, LCL dan Kredit ekspor dalam pengertian yang disinggung di atas. Meskipun demikian, ULN yang disebut pinjaman program, pada umumnya bersifat lebih lunak dan membantu. Pembedaan ini memang cukup jelas pada masa awal pemerintahan Soeharto.
Pinjaman program pada awal Orde baru terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan. Pinjaman program diorientasikan untuk menyelesaikan masalah jangka pendek dan mendesak, serta bersifat sangat lunak. Pada masa berikutnya, tingkat kelunakan menjadi kurang jelas. Sifat pinjaman program yang membantu mengatasi masalah ekonomi dan keuangan pemerintah yang mendesak tetap dipertahankan. Sifat utamanya adalah memberikan aliran devisa atau kas masuk secara langsung bagi pemerintah.
Akan tetapi, dalam beberapa tahun tersebut, pinjaman program terkait dengan perubahan kebijakan dalam bentuk undang-undang dan peraturan lainnya. Pencairan hutang program selalu dikaitkan dengan capaian dalam perubahan kebijakan yang berhasil dilakukan pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan pinjaman proyek terutama adalah hutang yang diterima dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa kepada negara/lembaga kreditur dalam bentuk kredit. Bedanya dengan pinjaman program, pinjaman proyek lebih ditujukan untuk proyek investasi jangka panjang
Sebagaimana telah disinggung di atas, sejak tahun 1967 Indonesia telah menerima pinjaman dengan syarat lunak atau dalam bentuk sumbangan ( grant) dari negara-negara dan lembaga-lembaga ke uangan iternasional yang tergabung dalam IGGI. Dalam beberapa tahun sejak itu, Indonesia mendapat pinjaman berbentuk bantuan program yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan, serta bantuan proyek dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak.
- Hutang Pemerintahan Transisi (Habibie)
- Tanggal 14 dan 15 Mei 1997, kurs bath terhadap US$ mengalami penurunan (depresiasi) sebagai akibat dari keputusan jual dari para investor yang tidak percaya lagi thd prospek ekonomi Thailand dalam jk pdk. Pemerintah Thailand mengintervensi dan didukung oleh bank sentral singapora, tapi tidak mampu menstabilkan kurs Bath, sehingga bank sentral Thailand mengumumkan kurs bath diserahkan pada mekanisme pasar. 2 Juli 1997, penurunan nilai kurs bath terhadap US$ antara 15% - 20%
- Bulan Juli 1997, krisis melanda Indonesia (kurs dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650.) BI mengintervensi, namun tidak mampu sampai bulan maret 1998 kurs melemah sampai Rp 10.550 dan bahkan menembus angka Rp 11.000/US$.
Langkah konkrit untuk mengatasi krisis:
- Penundaan proyek Rp 39 trilyun untuk mengimbangi keterbatasan anggaran Negara
- BI melakukan intervensi ke bursa valas
- Meminta bantuan IMF dengan memperoleh paket bantuan keuangan US$ 23 Milyar pada bulan Nopember 1997.
- Mencabut ijin usaha 16 bank swasta yang tidak sehat
Januari 1998 pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepakatan (LOI) dengan IMF yang mencakup 50 butir kebijakan yang mencakup:
- Kebijakan ekonomi makro (fiscal dan moneter) mencakup: penggunaan prinsip anggaran berimbang; pengurangan pengeluaran pemerintah seperti pengurangan subsidi BBM dan listrik; pembatalan proyek besar; dan peningkatan pendapatan pemerintah dengan mencabut semua fasilitas perpajakan, penangguhan PPN, pengenaan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.
- Restrukturisasi sektor keuangan
- Reformasi struktural
Bantuan gagal diberikan, karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan kesepakatan dengan IMF yang telah ditandatangani.
Indonesia tidak mempunyai pilihan kecuali harus bekerja sama dengan IMF. Kesepakatan baru dicapai bulan April 1998 dengan nama “Memorandum Tambahan mengenai Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan” yang merupakan kelanjutan, pelengkapan dan modifikasi 50 butir kesepakatan. Tambahan dalam kesepakatan baru ini mencakup:
- Program stabilisasi perbankan untuk stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi
- Restrukturisasi perbankan untuk penyehatan system perbankan nasional
- Reformasi structural
- Penyelesaian hutang luar negeri dari pihak swasta
- Bantuan untuk masyarakat ekonomi lemah.
- Utang Pemerintahan Reformasi (Abdurrahman Wahid)
Mulai pertengahan tahun 1999.
Target:
- Memulihkan perekonomian nasional sesuai dengan harapan masyarakat dan investor
- Menuntaskan masalah KKN
- Menegakkan supremasi hokum
- Penegakkan hak asasi manusia
- Pengurangan peranan ABRI dalam politik
- Memperkuat NKRI (Penyelesaian disintegrasi bangsa)
Kondisi:
- Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi positif (mendekati 0)
- Tahun 2000 pertumbuhan ekonomi 5%
- Kondisi moneter stabil ( inflasi dan suku bunga rendah)
- Tahun 2001, pelaku bisnis dan masyarakat kurang percaya kepada pemerintahan sebagai akibat dari pernyataan presiden yang controversial, KKN, dictator, dan perseteruan dengan DPR
- Bulan maret 2000, cadangan devisa menurun dari US$ 29 milyar menjadi US$ 28,875 milyar
- Hubungan dengan IMF menjadi tidak baik sebagai akibat dari: penundaan pelaksanaan amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah (terutama kebebasan untuk hutang pemerintah daerah dari LN); dan revisi APBN 2001.
- Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi cenderung negative, IHSG merosot lebih dari 300 poin, dan nilai tukar rupiah melemah dari Rp 7000 menjadi Rp 10.000 per US$.
- Hutang Pada Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
- Meminta penundaan pembayaran hutang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran hutang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
- Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
- Hutang Pada Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa hutang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.
D. Faktor Penyebab Besarnya Hutang Luar Negeri
- Strategi defisit anggaran : strategi defisit anggaran tanpa diimbangi dengan kontrol akan sangat berbahaya. Selama ini Indonesia selalu menerapkan strategi ini, dengan harapan, jika hutang kepada luar negeri, maka hasil dari hutang tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan, sehingga sektor riil berkembang dan harapannya pendapatan nasional dapat meningkat signifikan. Namun hasil dari pendapatan nasional ini tidak sepenuhnya digunakan untuk membayar hutang luar negeri.
- Tidak menyadari secara penuh biaya yang harus ditanggung di masa depan Pemikiran irasional banyak mendominasi penentu kebijakan di negara sedang berkembang dalam melakukan hutang (Alesina dan Tabellini).
- Adanya faktor sosial politik dari penentu kebijakan Faktor sosial dan politik lebih dominan dibanding faktor ekonomi dalam melakukan utang (Sebastian Edwards).
E. Data Posisi hutang luar negeri Indonesia berikut sumbernya:
- Posisi hutang luar negeri pemerintah Indonesia
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutang Kementerian Keuangan yang dikutip vibiznews.com, Selasa (16/04/2013) total utang pemerintah Indonesia hingga Maret 2013 mencapai Rp 1.991,22 triliun dengan rasio 24,1% terhadap PDB.Dari jumlah tersebut, Rp 588,38 triliun merupakan hutang luar negeri yang didapat dari beberapa negara dan juga lembaga-lembaga multilateral. hutang luar negeri ini terus turun dibandingkan akhir 2012 yang sebesar Rp 612,52 triliun.
Tahun ini, nilai belanja APBN mencapai Rp 1.683 triliun. Defisit anggaran tahun depan ditetapkan 1,65% terhadap PDB atau Rp 172,8 triliun, karena penerimaan negara lebih kecil, Untuk menutup defisit tersebut, DPR membolehkan pemerintah menambah hutang baru hingga Rp 161,4 triliun.
Ada 3 negara dan 3 lembaga yang paling rajin memberi hutang kepada pemerintah Indonesia, antara lain :
3 Negara Terajin Memberi hutang Kepada Indonesia :
- Perancis, Jumlah utang meski turun tipis dari Rp 21,3 triliun di akhir 2012, namun secara keseluruhan total hutang Indonesia ke Perancis hingga Maret 2013 sebesar Rp 21,03 triliun.
- Jerman , Jumlah hutang meski turun dari akhir 2012 yang jumlahnya Rp 20 triliun namun secara keseluruhan total utang Indonesia ke Jerman hingga Maret 2013 sebesar Rp 19,43 triliun.
- Jepang, Jumlah hutang meski turun dari akhir 2012 yang jumlahnya Rp 254,64 triliun namun secara keseluruhan total hutang Indonesia ke Jepang hingga Maret 2013 sebesar Rp 235,16 triliun atau yang terbesar.
3 Lembaga Terajin Memberi hutang Kepada Indonesia :
- Bank Dunia, Jumlah hutang Indonesia naik tipis dari akhir 2012 sebesar Rp 122,14 triliun. Secara keseluruhan total hutang Indonesia ke Bank Dunia hingga Maret 2013 sebesar Rp 122,38 triliun.
- Asian Development Bank (ADB), Jumlah hutang Indonesia turun dibandingkan akhir 2012 sebesar Rp 100,34 triliun. Secara keseluruhan total hutang Indonesia ke ADB hingga Maret 2013 sebesar Rp 98,24 triliun.
- Islamic Development Bank (IDB), Jumlah hutang Indonesia turun dibandingkan akhir 2012 sebesar Rp 5,05 triliun. Secara keseluruhan total hutang Indonesia ke Islamic Development Bank (IDB) sebesar Rp 4,93 triliun.
“ Namun kondisi hutang pemerintah telah ditanggapi oleh pemerintah sejak tahun lalu, melalui PERPRES, Presiden SBY telah menetapkan pembatasan pinjaman luar negeri yang membebani APBN/APBD. Melalui kebijakan tersebut tampak sejumlah hutang luar negeri pemerintah Indonesia yang terus menurun dan menggantinya dalam bentuk surat utang atau obligasi yang di terbitkan sebagai surat utang negara (SUN).”
- Hutang Luar Negeri Swasta
Khusus untuk hutang luar negeri swasta yang merupakan hutang yang dilakukan atas atau tanpaassistensi pemerintah dan digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek swasta yang di lakukan untuk kepentingan produksi dalam bentuk faktor-faktor produksi (modal) yang dilakukan perusahaan BUMN, BUMD, BUMS dalam upaya melakukan ekspansi bisnis dan perluasan market share.
Posisi utang luar negeri swasta.
Berdasarkan data Bank Indonesia hingga Januari 2013, total hutang luar negeri swasta, baik bank maupun bukan bank, telah mencapai US$ 125 miliar. Jumlah tersebut terdiri dari hutang sector keuangan dan jasa perusahaan senilai US$ 33,45 miliar, hutang dari sektor industry pengolahan/manufaktur senilai US$ 25,67 miliar, dan sector pertambangan senilai US$ 21,08 miliar.
“ Berbeda dengan hutang luar negeri pemerintah yang menunjukan penurunan hutang luar negeri swasta justru mengalami penigkatan setidaknya itu terjadi dalam catatan selama dua tahun terakhir, menurut saya ada baiknya juga di berlakukan sistem kendali pada hutang luar negeri swasta,karena bagaimanapun dalam persfektif makro trasaksi hutang yang terlalu besar pada hutang LN swasta maupun pemerintah akan berpengaruh pada melemahnya nilai tukar rupiah/Rp terhadap USD berkenaan langsung dengan defisit neraca pembayaran”.
F. Dampak Hutang Luar Negeri
- Pada sisi efektifitasnya, secara internal, hutang luar negeri tidak hanya dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga. Hutang diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan.
- Sedangkan secara eksternal, hutang luar negeri diyakini menjadi pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan pada pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan .
- Pada sisi kelembagaannya, lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB). Keduanya diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama pemegang saham utama mereka, untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman.
- Pada sisi ideologinya, hutang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman, terutama Amerika, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. (Erler, 1989).
- Sedangkan pada sisi implikasi sosial dan politiknya, hutang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Secara tidak langsung negara-negara kreditur diyakini turut bertanggungjawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatkan tekanan migrasi dan perdagangan obat-obat terlarang, serta terhadap terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992).
G. Solusi Hutang Luar Negeri
- Pertama, Debt swap. Solusi yang paling sederhana mengatasi hutang luar negeri adalah dengan mengoptimalkan restrukturisasi utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana sebagian hutang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk progran yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan lingkungan,dan sebagainya. Program debt swap seperti ini sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50 juta (Rp250 miliar) dari total hutang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam bentuk proyek pendidikan.
- Kedua. Diplomasi ekonomi. Menurut Rachbini. 1994, masalah utang LN tidak bisa lagi diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka. Potensi internal ekonomi kita tidak cukup kuat untuk melayani hutang luar negeri yang salah dalam pengelolaannya. Kita tidak bisa secara terus-menerus menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut karena sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan mengganggu kestabilan ekonomi serta politik. Suatu pendekatan diplomasi ekonomi politik harus terus menerus dijadikan program aksi (action program) untuk menghadapi lembaga dan negara donor. Diplomasi ekonomi juga penting dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan dan penghapusan sebagian hutang sehingga proses pengurasan sumberdaya dapat dihambat.
- Ketiga. Adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh mantan kepala BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal hutang luar negeri, harus ada keberanian untuk menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena pada kenyataanya Indonesia tidak dapat membayar kembali hutang dan bunga yang jatuh tempo. Hutang tersebut hanya bisa dibayar dengan cara melikuidasi kekayaan negara. Dalam hal hutang dalam negeri, supaya menarik kembali OR yang masih dalam penguasaan pemerintah melalui bank-bank yang masih milik pemerintah.
- Keempat. Adalah cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop hutang baru. Untuk tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap. Asumsi dasar pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level antara minimum 3% setahun dan maksimum 7% setahun. Angka terakhir pernah tercapai di masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan otoriter dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun. Asumsi dasar kedua adalah menjaga tingkat inflasi tetap rendah-rendah (di bawah 10% setahun, idealnya 6%), medium (sekitar 10% setahun) dan tinggi (di atas 10% setahun)- Semakin rendah inflasi semakin baik oleh karena pengeluaran untuk membayar bunga utang rekap perbankan dalam negeri akan turun banyak, dan inflasi rendah akan merangsang pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dari luar.Asumsi ketiga adalah dalam beberapa tahun kedepan diharapkan tidak ada lagi penambahan stock hutang yang ada. Ini berarti bahwa di dalam negeri tidak akan ada krisis perbankan lagi yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan obligasi baru untuk menyelamatkan sistim perbankan. Asumsi ini juga berarti tidak ada tambahan hutang luar negeri. Maka, kalau laju pertumbuhan ekonomi mulai tahun ini bisa mencapai 7% setahun dan inflasi hanya 6% setahun, dan pemerintah tidak perlu menambah stock hutang lagi, maka (pasti) beban angsuran hutang turun dan sebagai akibatnya kita tidak perlu lagi membebani generasi mendatang dengan cicilan hutang. Kedepan, untuk mengantisipasi jeratan utang yang sangat membebani bangsa dan negara ini, maka pemerintah harus mempunyai kemauan politik dan itikad baik untuk mengakhiri semua hasrat berhutangnya, dan menolak secara tegas pengaruh dan tekanan dari pihak negara mana pun yang berkepentingan menjerat negara ini dengan hutang yang sebesar mungkin.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan jumlah hutang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam periode jangka pendek, hutang luar negeri harus diakui telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional sehingga dengan terlaksananya pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan perkapita masyarakat bertumbuh selama taga dasawarsa sebelum terjadi krisis ekonomi. Menurut Gibson dan Tsakalator (1992), penyebab timbulnya krisis hutang dapat ditinjau dari tiga hal: pertama, sistem moneter Internasional. Kedua, sistem perbankan swasta internasional. Ketiga, negara peminjam itu sendiri
Semakin bertambahnya utang luar negeri pemerintah, berarti juga semakin memberatkan posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta dengan bunganya. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, hutang luar negeri itu harus dibayar dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan hutang baru, karena pada saat krisis ekonomi penerimaan rutin pemerintah, terutama dari sector pajak, tidak dapat ditingkatkan sebanding dengan kebutuhan anggaran belanjanya. Dalam jangka panjang akumulasi dari hutang luar negeri pemerintah ini tetap saja harus dibayar melalui APBN, artinya menjadi tanggung jawab para wajib pajak. Dengan demikian, maka dalam jangka panjang pembayaran utang luar negeri oleh pemerintah Indonesia sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia masa mendatang.
Adalah suatu hal yang tepat, bila utang luar negeri dapat membantu pembiayaan pembangunan ekonomi di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Tetapi, penggunaan utang luar negeri yang tidak dilakukan dengan bijaksana dan tanpa prinsip kehati-hatian, dalam jangka panjang utang luar negeri justru akan menjerumuskan negara debitur kedalam krisis utang luar negeri yang berkepanjangan, yang sangat membebani masyarakat karena adanya akumulasi utang luar negeri yang sangat besar.
Komentar
Posting Komentar
No Spam
No SARA