Partai Politik Masa Depan

Menurut Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Partai politk merupakan wadah masyarakat atau seseorang untuk memasuki ranah politik dan sebagai organisasi memiliki tujuan hanya untuk memperebutkan kekuasaan pemerintahan.

Partai Catch-All merupakan partai massa dan kader atau bisa dibilang gabungan dari kedua konsep tersebut. Partai di masa depan tidak lagi mengutamakan kualitas tetapi juga kuantitas karena sejalan dengan sistem demokrasi yang mengutamakan massa yang banyak untuk mendapatkan banyak kursi di pemerintahan. Partai di masa depan juga tidak hanya mementingkan massa tapi juga kualitas dari anggota partainya maka di perlukan kaderisasi anggota partai. Fungsi partai sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur konflik. Dalam menjalankan fungsi sosialisasi politik di perlukan pemahaman mendalam akan politik di tubuh partai dan ideologi partai yang jelas karena partai harus memiliki tujuan bersama yang jelas.

Partai catch-all merupakan pilihan di masa sekarang maupun di masa depan tapi partai catch-all akan mendapatkan saingan seperti partai kartel dan partai firm bisnis. Idealnya di masa depan partai catch-all akan bertahan sebab inilah partai paling ideal untuk di masa depan yang tidak hanya mementingkan massa tetapi juga mementingkan kualitas dari kader partai. Permasalahan partai sekarang ini adalah ideologi partai politik yang banyak para elite partai politik cenderung bersikap pragmatis. Partai sekarang ini cenderung sudah menjadi partai kartel. Ciri dari partai yang sudah terkatelisasi adalah adalah ideologi partai menjadi nonfaktor dalam menentukan perilaku partai dalam membentuk koalisi partai bersikap promiscuous alias serba boleh, oposisi tidak dapat diidentifikasi, hasil-hasil pemilu nyaris tidak berdampak pada perilaku partai dan partai cenderung bertindak dalam satu kelompok. Partai di Indonesia cenderung ke arah partai kartel. Ideologi dan program partai dinomorsekiankan dan dikalahkan oleh kepentingan yang pragmatis. Menurut saya, partai kartel kurang baik untuk masa depan karena partai tidak lagi jelas arahnya dan tidak memiliki tujuan untuk kepentingan rakyat dan sudah bersikap pragmatis dalam arah politiknya dan tujuannya.

Partai yang menjadi pilihan terbaik untuk masa depan ialah partai catch-all yang tidak hanya mementingkan kuantitas tapi juga kualitas dari anggota partainya. Didalam negara demokrasi di butuhkan massa karena tanpa massa sama saja omong kosong. Jalan menuju pemerintahan hanya massa sebab legitimasi kekuasaan di sistem demokrasi hanya melalui masyarakat jika ingin memiliki kekuasaan di pemerintahan. Tapi dalam menjalankan partai catch-all masih ada beberapa masalah di kubu partai seperti lemahnya partai politik, lemahnya sistem rekrutmen dan pola kaderisasi anggota partai politik. Permasalah utama, yaitu lemahnya ideologi partai politik. Dalam menyelesaikan permasalah ini harus di atasi dengan menguatkan peran Divisi Litbang yang ada dalam organisasi partai politik itu sendiri agar tidak terjadinya lemahnya ideologi partai politik. Partai politik harus menyadari bahwa divisi ini mempunyai peranan sangat besar dalam pengembangan partai ke depannya. Jika divisi ini telah kuat dan berjalan semestinya maka divisi ini diharapkan mampu untuk memberikan masukan kepada para pimpinan partai tentang apa yang seharusnya yang dilakukan oleh partai tanpa harus keluar dari kerangka ideologi yang telah disepakati oleh para fouding father partai.

Sistem rekrutmen dan pola kaderisasi yang baik tidak akan menciptakan lagi fenomena berkhianat dari partai politik asalnya. Partai politik yang berfungsi sebagai kawah candradimuka yang digunakan untuk menempa dan menggembleng para kadernya untuk kemudian diproyeksikan sebagai pengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan telah mempunyai keterikatan emosional dan ideologi dengan para kadernya tersebeut. Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena naturalisasi tersebut telah menunjukkan bahwa partai politik kita telah mengalami apa yang disebut dengan disfungsi dalam rekrutmen politik dan pola kaderisasi dan gagal dalam menanamkan ideologi partai kepada para kadernya.

Partai politik memiliki kemalasan untuk bersusah payah dalam mengembangkan sistem rekrutmen dan pola kaderisasi yang handal dikarenakan terbenturnya partai dalam hal finasial. Partai politik cenderung sulit untuk mengumpulkan dana yang berasal dari iuran anggotanya. Akibatnya fungsi partai politik telah berubah dari organisasi politik yang berperan dalam melakukan rekrutmen politik untuk kemudian mengkaderkan para calon politisi yang handal berubah menjadi agen penyedia tiket bagi orang-orang berduit untuk dapat menjadi para pejabat politik dalam waktu singkat.

Sesuai dengan prinsip simbiosis mutualisme, bekerjanya partai politik layaknya agen tiket tersebut tidak semata-mata hanya untuk memfasilitasi orang-orang yang berduit agar dapat menjadi pejabat politik akan tetapi juga untuk menyelamatkan partai dari krisis finansial. Lebih parah itu, tidak hanya orang berduit yang menjadii incaran partai politik tapi para artis hingga ulama pun menjadi bidikan partai politik untuk dijadikan kadernya (istilah kader kurang tepat karena prosessnya begitu cepat). Partai politik memanfaatkan popularitas mereka untuk menjaring suara rakyat yang di sisi lain cenderung masih belum menggunakan rasionalitasnya secara penuh dalam memilih. Dengan modal popularitas dan kemampuan dalam menarik perhatian rakyat selama kampanye tidak sedikit di antara mereka yang berhasil memenangi pemilu.

Sebagai sarana dalam melaksanakan rekrutmen politik, partai politik memiliki kewajiban dalam beberapa hal:

1. Menyiapkan kader-kader pimpinan politik

2. Melakukan seleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan

3. Perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat pada jabatan-jabatan politik yang bersifat strategis

Berdasarkan realita yang kita lihat akhir-akhir ini maka kita dapat menilai bahwa proses rekrutmen politik belum berjalan secara terbuka, transparan, dan demokratis yang dapat dilihat dari pemilihan kader yang tidak objektif. Tidak hanya pada tahap rekrutmen, proses penyiapan kader yang dapat dilihat dari pola kaderisasi juga terkesan tidak sistematis dan berkelanjutan. Pembinaan kader hanya dilaksanakan menjelang diadakannya event-event politik seperti pemilu, konggres partai, ataupun sidang-sidang di DPR.

Fenomena kutu loncat pun dianggap sebagai hal yang biasa. Kader yang telah lama berkiprah di partainya tiba-tiba disalip oleh kader partai lain yang baru bergabung karena beberapa alasan. Tidak tanggung-tanggung, dalam waktu singkat mereka yang menjadi kutu loncat tersebut berhasil menjadi elite partai.

Pola rekrutmen dan kaderisasi yang semakin instan menambah penilaian negatif masyarakat terhadap partai politik. Partai politik lebih cenderung untuk merekrut kader yang sudah jadi seperti incumbent, bukan kader yang benar-benar dibesarkan dan merasakan pahit manisnya kehidupan berpartai. Para politisi pun cenderung untuk memanfaatkan nama besar partainya yang baru untuk memenangkan pemilu ketika partai yang lama gagal mengantarkan dirinya sebagai pemenang.

Proses yang dilakukan politik untuk mendapatkan jabatan politik tidak lagi diorientasikan pada kepentingan publik, bahkan juga tidak berdasarkan kepentingan partai. Akan tetapi lebih cenderung dipergunakan untuk memenuhi kepentingan yang bersifat pribadi atau kelompok. Meskipun tidak semua pejabat seperti itu. ke depan partai politik harus lebih selektif lagi dalam menyeleksi calon anggota mereka dengan menempatkan faktor kompetensi pada urutan pertama dan menghilangkan kaderisasi instan maupun kutu loncat di dalam partai politik agar tidak ada penilaian negatif di masyarakat terhadap partai politik.

Masalah yang dihadapi oleh partai politik adalah krisis fundraising. Terjebaknya partai politik ke dalam politik kartel menyebabkan partai menjadi semakin jauh dengan konstituennya. Hal ini menyebabkan partai mengalami kesulitan dalam mengumpulkan dana yang berasal dari iuran anggotanya. Akibatnya untuk menutupi kebutuhannya partai politik terpaksa mendekatkan diri kepada para penyumbang bermodal besar dan melalukan perburuan dana ilegal melalui kadernya yang menduduki posisi strategis di pemerintahan. Tentu hal ini berpotensi untuk mengebiri kemandirian partai dalam berpolitik karena dibalik sumbangan besar yang diberikan oleh para pemilik modal tersebut terselip niat untuk bisa mengendalikan partai dengan cara memengaruhi kebijakan partai politik. Jika ini terus terjadi maka fungsi partai politik dalam menyambung lidah rakyat akan hilang dengan sendirinya. Untuk menghindarkan partai politik dari cengkeraman para pemilik modal sekaligus untuk menjauhkan para pengurusnya untuk melakukan pemburuan dana ilegal, subsidi partai politik yang selama ini nilai sangat kecil dibandingkan dengan nilai belanja partai politik bisa dinaikkan. Namun kenaikan ini harus disertai syarat, yaitu menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Partai politik harus melakukan pengelolaan keuangan partai politik secara terbuka dengan cara menunjukkan daftar penyumbang dan membuat laporan tahunan secara rutin. Demikian juga laporan pertanggung jawaban penggunaan dana negara juga dilakukan secara teratur tidak boleh sampai merugikan negara.

Komentar

Postingan Populer