Politik Identitas LGBT Dalam Demokrasi di Amerika Serikat
Seksualitas masih menjadi salah satu isu yang banyak diperdebatkan dalam politik modern, sehingga hampir mustahil untuk berbicara tentang demokrasi liberal modern, hak asasi manusianya, dan kebebasan individualnya, tanpa membahas isu seksualitas. Tak diragukan lagi, salah satu faktor yang menyebabkan pergeseran ini adalah kebangkitan politik identitas di dunia pasca-Perang Dunia II. Karena itu, kemunculan politik identitas lesbian, gaay, biseksual, dan transgender (LGBT) adalah bagian dari pergeseran struktual dalam organisasi politik di demokrasi kontemporer.
Masa-masa antara 1950 sampai 1969 dapat dipahami sebagai aktivisme homophile reformis dan dapat dikarakteristikkan melalu slogan era itu: “we are just like everyone else.” Pada saat itu, kebanyakan studi sosiologi, psikologi, medis, dan hukum, memandang homoseksual sebagai bentuk penyimpangan atau patologi. Kekuatan politik era perang dingin memandang homoseksualitas sebagai ancaman bagi negara sebagaimana ancaman komunisme (yang paling menonjol di sini adalah perburuan yang digagas oleh Senator AS, Joseph McCarthy, yang menyeret orang-orang di hadapan House Committee on Un-American Activites antara tahun 1934 dan 1975). Namun itu juga masa ketika Alfred Kinsey mempublikasikan laporannya tentang perilaku seksual warga Amerika (pada 1948 dan 1954), yang menunjukan apa yang sebenarnya terjadi di ranjang warga Amerika-dan ternyata tidak sepuritan seperti yang dikatakan dalam diskursus resmi. Masa itu adalah juga periode ketika organisasi gay pertama (Mattachine Society [MS]) dan lesbian (Daughters of Bilitis [Dob]) didirikan. Kata yang digunakan oleh aktivis itu adalah Homophile, yang menunjukkan tujuan utama dan sikap dari orang homoseksual pada saat itu. Istilah itu di buat oleh aktivis untuk memperhalus aspek seksual (homoseksual) dari identitas seksual, dan karenanya dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan dan lebih menekankan pada persamaan dengan mayoritas heteroseksual. Organisasi homophile berhadap mencapai asimilasi dengan menggunakan metode non-agresif dan penerimaan norma sosial (gender,kelas, dan ras).
Organisasi homophile bukan hanya tidak menentang norma sosial, namun juga bertindak dengan cara yang memperkuat norma itu, terutama yang berkaitan dengan peran seks dan gender. Jadi, DoB dan MS melalui majalahnya memberi saran kepada pembaca untuk tampil dan berpakaian “secara layak,” memperkuat standar maskulin pria dan feminim wanita. Ini dapat dilihat sebagai salah satu contoh fokus kelompok Homophile pada pendidikan dan strategi gerakan mereka.
Aspek ini juga ada dalam adopsi sistem-pakar (expert-system): usaha untuk mendepatologisasikan homoseksualitas dengan meyakinkan para pakar (pengacara, dokter, dan pejabat pemerintahan) tentang kenormalan orang homoseksual. Lalu pakar, menggunakan keahliannya, memengaruhi dan mengubah masyarakat.
Secara keseluruhan, profil gerakan homophile era 1950-an dan 1960-an dapat diringkas sebagai asimilasionis, dicirikan oleh pendekatan lunak (berdasarkan standar sekarang), melibatkan upaya meyakinkan akan persamaan dan penerimaan ekspresi gender. Identitas seksual dianggap terbatas pada wilaya privat, kehidupan personal di kamar tidur. Setiap usaha untuk membawa homoseksualitas ke perhatian publik dilakukan dengan memisahkannya dari aspek lain dari identitas dan ekspresi gender berdasarkan norma yang dominan.
Pembukaan di buku tentang politik gay dan lesbian umumnya dikaitkan dengan kerusuhan di seputar peristiwa Stonewall Inn dan bar gay, di New York, pada juni 1969. Periode ini biasanya disebut kebebasan atau liberasi gay dan lesbian, dicirikan dengan slogan seperti “Out of the closets and into the streets, atau “Gay revolution now.”
Pergeseran signifikan pada dekade aktivisme gay dan lesbian ini adalah gerakan menjauhi rasa malu dan menuntut persamaan dalam politik homophile dan menekankan pada kekhasan, kebanggaanm dan pemberontakan, yang menjadi ciri gerakan pembebasan pada waktu itu. Yang menonjol, pergeseran ini muncul pada masa gelombang budaya tanding (counterculture) di Amerika, di mana terjadi revolusi seksual, feminisme gelombang kedua, pembebasan kekuatan kulit hitam, dan gerakan anti perang.
Sama dengan gerakan dan kelompok pembebasan lainnya pada masa itu, strategi lesbian dan gay adalah tindakan langsung: protes di jalanan adalah aktivitas publik:, seksualitas dirayakan dan diangkat, sebagai cara untuk pembebasan personal dan kelompok, sebagai sarana perubahan.
Feminisme lesbian muncul dari kekecewaan terhadap androsentrisme pembebasan gay dan heteronormativity (heteroseksualitas sebagai norma) dalam feminisme gelombang kedua. Feminisme itu mempromosikan ruang khusus wanita yang aman dan terjamin sehingga wanita bisa berkembang dan meraih kesempatan untuk pendidikan, pekerjaan yang baik. Beberapa strategi yang diambil adalah strategi separatisme (meski ini sangat diperdebatkan) dan pendidikan, melalui majalah seperti Furies.
Manifesto utama, Women Identified Women, yang ditulis oleh kelompok Radicalesbians pada 1970, yang juga merupakan tulisan rintisan. Ia membuka ruang untuk memandang lesbian sebagai sebuah tindakan politik, bukan hanya keinginan seks penting lainnya, karya Adrienne Rich (1980), “Compulsory Heterosexuality and Lesbian Existence.” Namun, lesbianisme politik, demikian istilahnya di kemudian hari, juga dikritik oleh sebagian feminis. Mereka memandang bahwa membawa seksualitas menjauhi lesbianisme adalah mengorbankan keinginan dan erotisisme demi identitas umum (all-women) (sebagai sarana pembebasan). Hubungan yang sulit antara feminisme dengan seksualitas ini tampak lagi selama periode yang disebut perang seks, pada 1980-an, khususnya selama debat feminis soal pornografi, praktik S&M, dan hakikat dari kekerasan seksual.
Berakar pada budaya tanding pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, gerakan kebebasan lesbian dan gay memiliki visi penindasan heteronormatif (istilah yang diciptakan belakangan) sebagai akibat dari masyarakat pratriarkis. Hal ini pada gilirannya dipertahankan oleh rasisme dan imperialisme global Barat (Amerika). Visi semacam itu membantu membangun politik identitas lesbian dan gay. Ia menjadi cara mengonseptualisasikan orang homoseksual dengan cara seperti minoritas etnis, dan mengadopsi visi homoseskualitas sebagai identitas tetap yang esensial (yakni, menekankan esensi dan hakikat dari determinasi biologis).
Sebagaimana kata homophile diadopsi oleh aktivis era 1950-an dan 1960-an, demikian pula era 1970-an menghasilkan kata gay sebagai deskripsi yang disukai. Namun, sementara gerakan homophile ingin memperbaiki relasi sosial dan menghadirkan homoseksualitas agar diterima lebih menekankan dan merayakan perbedaan dan menolak konsep yg disebut normalitas. Tujuan utamanya adalah menghilangkan peran gender dan mengubah keluarga sebagai institusi sosial, sehingga mengakhiri kekerasan homofobia (rasa takut pada homoseksualitas yang dipandang sebagai perilaku menyimpang)-dan yang paling signifikan, merekonseptualisasikan seksualitas bukan dalam termreproduksi dan status sosial, tetapi sebagai kesenangan dan relasi. Hal ini, pada gilirannya, menjadi momen penting untuk membangun biseksualitas sebagai faktor politik.
Gerakan ke arah konseptualisasi homoseksualitas sebagai basis identitas yang utuh dan dominan, yang dapat menjadi basis untuk gerakan sosial, dapat dideskripsikan sebagai esensialisme strategis. Ini diperkenalkan pada skala besar pada awal 1970-an tetapi kemudian diambil alih oleh politik lesbian dan gay pada akhir dekade itu.
Akhir 1970-an juga merupakan era pergesekan dari politik gay dan lesbian (kultural) revolusioner ke arah tipe formal dan struktural (politik). Hal ini tampak dalam bubarnya Gay Liberation Front, sebuah kelompok atau organisasi yang longgar, non-hierarkis dan tidak terlalu formal. Pada saat yang sama, muncul organisasi non-pemerintahan seperti National Gay (dan Lesbian-ditambahkan kemudian) Task Force, yang diformalisasikan, distrukturalisasikan dan didanai dengan baik, dengan staf yang bekerja penuh.
` Secara keseluruhan, gerakan pembebasan gay dan lesbian menghasilkan radikalisasi politik, invasi ke dalam status quo politik dan sosial, menolak visi puritan seksualitas dan gender, dan menekankan pada perbedaan. Dalam semangat New Left, gerakan itu juga menekankan kebutuhan akan koalisi dengan kelompok terpinggirkan dan terdiskriminasikan lainnya. Saat itu juga merupakan masa ketika model aktivisme berbasis identitas yang kuat muncul sebagai model dominan. Pada akhir 1970-an, bersama dengan kesuksesan relatif perjuangan sebelumnya, muncul pendekatan baru untuk hak-hak gay, dengan fokus pada politik ketimbang isu kultural. Ini adalah tipe politik satu isu dan dititikberatkan pada hak-hak gay sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pendekatan hak asasi gay ini mendominasi politik gay dan lesbian pada 1990-an, meski bukannya tanpa kontroversi.
Pergeseran di dalam politik gay dan lesbian juga merupakan efek dari kejutan sosial yang terjadi pada 1980-an dengan munculnya HIV dan AIDS, disatu sisi, dan hegemoni politik konservatisme New Right, yang memenangkan kekuasaan di Amerika Serikat dan Inggris, di sisi lain. Tetapi , dapat dikatakan bahwa faktor-faktor ini juga merupakan katalis bagi kemunculan gerakan HIV dan AIDS yang radikal dan politik queer (Politik homoseksual). Tetapi, ini memunculkan pendekatan berbeda dalam politik seksual. Paruh pertama 1980-an melahirkan kristalisasi politik identitas, yang menekankan identitas gay sebagai faktor kunci dalam mobilisasi sosial. Namun, ketidakresponsifan pemerintah terhadap epidemi HIV dan AIDS menunjukkan bahwa pendekatan hak asasi gay, yang menggunakan saluran lobi dan menekankan pemerintah, ternyata belum cukup kuat.
Pada paruh kedua itu, muncul organisasi baru seperti AIDS Coalition to Unleash Power (ACT UP) dan Queer Nation. Kelompok-kelompok tersebut mengusung kembali metode aktivisme sosial yang lebih radikal dan menekankan bahwa politik identitas terlalu kaku untuk mengatasi isu sosial yang multilevel dan luas seperti HIV dan AIDS.
Selain itu, kebangkitan fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat membantu penyebaran politik menolak gerakan tersebut, menciptakan kepanikan moral. Fundamentalisme Kristen mengklaim diri sebagai penjaga nilai-nilai keluarga dari homoseksualitas (yang dipandang sebagai ancaman bagi moralitas dan masyarakat tradisional), menolak hak khusus dan kepentingan yang dituntut oleh kelompok gay dan lesbian kepada mayoritas. Kelompok fundamentalis Kristen terbukti merupakan lawan sengit bagi gerakan LGBT.
Politik LGBT sepanjang dekade 1950-an dan 1970-an sangat fokus pada aspek kultural dan sosial yang memengaruhi diskriminasi terhadap orang homoseksual. Pada akhir 1970-an, dengan berkembangnya pendekatan hak asasi gay, makin banyak perhatian diberikan pada kerangka hukum. Ada tiga area utama: dekriminalisasi homoseksualitas, menegakkan regulasi antidiskriminasi, dan memberikan regulasi hukum terhadap pasangan sejenis.
Meskipun bukan pada level nasional, beberapa negara bagian menerapkan undang-undang sodomi, yaang menghukum (kebanyakan pada pria) perilaku seksual sesama jenis. Hukum ini dipandang kelompok LGBT sebagai termasuk epos lama dan melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, penghapusan peraturan ini menjadi perjuangan penting LGBT di abad ke-20.
Disisi lain, hukum yang lebih positif diusulkan untuk dimasukkan dalam kode legal, khususnya regulasi yang secara langsung menyebutkan orientasi seksual sebagai salah satu dasar pelarangan diskriminasi. Dikatakan bahwa undang-undang anti-diskriminasi yang ada sulit dieksekusi jika tidak ada ketentuan orientasi seksual dalam undang-undang itu. Pengakuan hukum atas pasangan sesama jenis menjadi satu isu penting dalam politik LGBT.
Politik Identitas LGBT merupakan salah satu dekonstruksi wacana yang di lakukan kelompok-kelompok gay dan lesbian di masyarakat. Seakan bahwa perilaku seksual ini tidaklah menyimpang dengan norma kebebasan dan hak asasi manusia. Demokrasi Amerika Serikat menganut kebebasan penuh atas masyarakat merupakan tongak awal munculnya gerakan identitas politik LGBT di kalangan kaum gay dan Lesbian. Segala cara di gunakan dari membangun relasi dengan para pakar akademisi (dokter) , pejabat dan masyakat untuk menyakinkan bahwa ini bukanlah penyimpangan seksual. Menurut Jacques Deridda, Dekonstruksi ialah pemutaran situasi atau sudut yang tertindas menjadi dominan. Kaum LGBT disini ialah kaum yg tertindas maka dari itu mereka melakukan dekonstruksi di masyarakat bahwa kami memiliki hak dan kebebasan seperti substansi sistem Demokrasi. Politik Identitas merupakan salah satu hal yg di lakukan oleh kaum LGBT agar identitas mereka di anggap oleh masyarakat dan dapat juga di terima oleh negara. Identitas adalah sesuatu hal yg penting karena tanpa Identitas manusia tidaklah di anggap hidup. Membalikan keadaan dan kaum LGBT mendominasi adalah salah satu tujuan untuk mengakhiri diskriminasi terhadap homoseksual. Regulasi harus dihapuskan terhadap diskriminasi seksual maka dari situ tidak hanya bergerak dalam bidang sosial dan politik tapi hukum juga prioritas utama kaum LGBT. Pengakuan hukum sangatlah penting atas pasangan sesama jenis karena tanpa itu setiap tindakan seksual yg dilakukan oleh kaum LGBT adalah melanggar hukum maka harus diubahlah hukum itu yang sangat mendiskriminasi mereka.
Komentar
Posting Komentar
No Spam
No SARA